Sabtu, 18 Juni 2011

PENCITRAAN DALAM PUISI

: 

Pencitraan dalam Puisi
Pencitraan dalam Puisi
Oleh : SRI BUDI S.
http://sri-economymeasures.blogspot.com/
Ketika membaca puisi, kita sering merasakan seolah-olah ikut hanyut dalam suasana yang diciptakan oleh penyair di dalam puisinya. Ketika penyair mengungkapkan peristiwa yang menyedihkan, kita ikut larut dalam suasana kesedihan. Demikian pula jika penyair mengungkapkan perasaan dendam, kecewa, marah, benci, cinta, bahagia, dan sebagainya.

Ketika penyair mengungkapkan adanya bunyi gemuruh letusan gunung berapi, kita seolah-olah mendengarkan bunyi itu. Ketika penyair menyebutkan benda yang amat mungil, seolah-olah kita melihat benda kecil itu. Ketika penyair menceritakan adanya makanan yang pedas, kita seolah-olah ikut merasakan pedasnya makanan itu. Demikian pula ketika penyair mengungkap hal yang amat panas, gatal, atau yang lainnya. Unsur puisi yang menyebabkan kita ikut merasakan seperti itu disebut citraan.

Citraan adalah gambaran angan yang muncul dibenak pembaca puisi. Setiap gambar dalam pikiran disebut citra atau imaji (image). Wujud gambaran dalam angan itu adalah “sesuatu” yang dapat dilihat, dicium, diraba, dikecap, dan didengar. Akan tetapi, “sesuatu” yang dapat dilihat, diraba, dicium, dikecap, dan didengarkan itu tidak benar-benar ada, hanya dalam angan-angan pembaca atau pendengar. Penyair kondang Chairil Anwar tampak nyata berusaha memunculkan citraan dalam puisinya yang berjudul Sajak Putih di bawah ini.

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda.

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah….

Dalam bait pertama kita jumpai kata-kata tari warna pelangi / bertudung sutera senja / Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Dengan menggunakan kata-kata tersebut penyair membawa kita seolah-olah berhadapan langsung dan melihat langsung benda-benda tersebut. Angan kita dibawa untuk melihat apa yang dikemukakan oleh penyair. Di hadapan kita seolah terpapar tari warna pelangi, suatu keindahan yang dilengkapi dengan tudung suteranya, yang dapat kita lihat dan rasakan dengan jelas. Demikian pula semerbak harum kembang mawar dan melati yang digambarkan dengan di kelopak matamu. Gambaran angan yang ditimbulkan melalui indera penglihatan seperti tari warna pelangi, dan indera penciuman yang ditandai dengan hadirnya kembang mawar dan melati seperti itu dikenal dengan istilah citra penglihatan dan citra penciuman.

Pada bait kedua kita jumpai kata-kata: sepi menyanyi, meriak muka air, memerdu lagu. Dengan menggunakan kata-kata tersebut penyair membawa angan kita untuk mendengarkan nyanyian sepi, juga merasakan jiwa yang tiba-tiba bergerak meriak, yang diikuti dengan alunan lagu merdu. Gambar angan yang ditimbulkan oleh kata-kata tersebut berkenaan dengan indera pendengaran. Oleh karena itu, gambaran angan tersebut disebut dengan istilah citra pendengaran.
Banyak cara yang digunakan oleh penyair dalam membangkitkan daya bayang pembaca puisinya. Ada yang mencoba melaui gerbang mata untuk menghasilkan citra penglihatan, ada yang melalui gerbang telinga untuk menghasilkan citra pendengaran, atau gerbang-gerbang indera yang lain. Berkaitan dengan itu, jenis citra yang ditimbulkannya juga bermacam-macam. Beberapa jenis citra yang sering terdapat dalam puisi antara lain: (1) citra penglihatan, (2) citra pendengaran, (3) citra penciuman, (4) citra perabaan, (5) citra pengecapan, (6) citra gerakan, dan citra suhu (panas/dingin).

Mengapa penyair berusaha menghadirkan citra dalam puisinya? Penyair adalah sastrawan. Cara sastrawan mengungkapkan gagasan berbeda dengan bukan sastrawan. Seseorang yang bukan sastrawan mengemukakan gagasan dengan bahasa yang lugas dan jelas agar gagasannya itu mudah dipahami pembaca. Seorang sastrawan selain mengungkapkan gagasan juga mengungkapkan perasaan. Sastrawan berharap agar pembaca dapat merasakan apa yang dirasakannya. Untuk keperluan itu, sastrawan sering menggunakan bahasa yang tak lazim. Salah satu upaya tak lazim itu adalah pencitraan dalam puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar